Jakarta (BRS) – Forum Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (FS SBM ITB) memenuhi panggilan Komisi X DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum, Senin (21/3/2022).
Pada rapat tersebut, Komisi X mendengarkan aspirasi dari FD SBM ITB terkait swakelola yang berlangsung di SBM ITB selama 18 tahun.
Anggota Komisi X DPR Elnino M. Husein Mohi menilai, akar masalah antara SBM ITB dan Rektorat ITB bermula dari adanya rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK berpendapat bahwa pengelolaan anggaran SBM ITB tidak sesuai dengan Statuta ITB.
Oleh karena itu, Rektor ITB Reini Wirahadikusumah, Dekanat SBM ITB, FD SBM ITB dan BPK perlu duduk bersama untuk mendapatkan solusi.
Komisi X juga akan mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk membantu menyelesaikan masalah antara SBM ITB dan Rektorat ITB.
Anggota lain Komisi X DPR Dewi Coryati juga menganggap penting Rektor ITB dan FD SBM ITB bersikap legowo untuk mengatur tata kelola SBM ITB. Dewi juga menilai, akar masalah antara FD SBM ITB dan ITB adalah temuan BPK.
Rektor ITB Reini Wirahadikusumah diminta mencari solusi yang tujuan akhirnya mempertahankan kualitas SBM ITB sama seperti saat ini.
“SBM ITB dari 150 mahasiswa, sekarang jadi 4.000 mahasiswa. Keberhasilan ini baik sekali. Kami tidak mau kesuksesan ini akan jadi berubah,” kata Dewi.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf juga menekankan pentingnya pihak-pihak terkait konflik ini meluruhkan ego. Usai pertemuan dengan FD SBM ITB, Komisi X DPR akan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Rektor ITB Reini Wirahadikusumah pada Kamis (24/3/2022).
Selanjutnya, Komisi X akan mengundang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk membahas masalah pencabutan swakelola SBM ITB. Komisi X akan menjembatani penyelesaian masalah dengan mempertemukan semua pihak, termasuk Wali Amanat ITB, Rektor ITB, Kemendikbudristek agar masyarakat tidak dirugikan.
“Kalau mau Kampus Merdeka, SBM ITB ini sudah jadi contoh. Cuma tidak mungkin semua berubah seperti SBM ITB. Kami sepakat yang dilakukan SBM ITB jadi contoh kampus lain,” ujar Dede.
Komisi X berharap kegiatan belajar mengajar tidak terganggu oleh konflik antara FD SBM ITB dan Rektorat ITB. Komisi X berharap proses belajar mengajar tetap berlangsung dengan kualitas tinggi.
“Kami minta proses pendidikan belajar mengajar tetap berjalan sebagaimana standar dan kualitas yang sudaj diterapkan supaya orangtua tidak dirugikan,” ucap Dede.
Menanggapi masukam dari Komisi X, pada Rapat Dengar Pendapat Umum, Dosen SBM ITB yang juga Koordinator Forum Dosen SBM ITB (FD SBM ITB) Jann Hidajat menjelaskan, Statuta ITB menyatakan bahwa yang berhak mengeluarkan peraturan di ITB adalah MWA, Senat Akademik dan Rektor.
Sejak berdiri, SBM beroperasi berdasar peraturan dekan karena peraturan rektor sebagai payung hukum operasional SBM belum pernah dibuat oleh Rektor. FD SBM ITB berpendapat bahwa dengan adanya temuan BPK tersebut, rektor diharapkan membuat payung hukum untuk operasional SBM. Bukan untuk mencabut swakelola SBM ITB.
Menurut Jann, dengan dikeluarkannya Peraturan Rektor ITB Nomor 178B Tahun 2022 yang dirilis 17 Maret 2022 mengindikaskan bahwa Rektor mempunyai wewenang untuk mengeluarkan peraturan yang memayungi otonomi SBM. Peraturan Rektor ITB Nomor 178B Tahun 2022 merupakan payung operasional SBM ITB sesuai sistem sebelum swakelola SBM dicabut. Jann juga memastikan Forum Dosen SBM ITB tidak pernah mogok mengajar.
Lebih lanjut, Jann mengatakan bahwa otonomi baik untuk membangun Fakultas dan Sekolah agar berkualitas internasional.
Dengan otonomi, universitas-universitas milik Indonesia akan mampu mengejar kualitas universitas-universitas unggulan di luar negeri. Selain itu, mampu bersaing dengan universitas-universitas asing yang sudah dan akan beroperasi di Indonesia.
Otonomi pendidikan tinggi juga membuat anggaran negara lebih tepat sasaran untuk nasyarakat yang memerlukan. Otonomi Sekolah dan Fakultas membuat pendidikan bergerak lebih lincah dan berkualitas.
Pencabutan swakelola akan menyulitkan SBM ITB menerapkan strategi bertumbuh dalam sekolah. Selain itu, akan merusak tata kelola dan reputasi internasional, termasuk sulit memenuhi standar AACSB. Dampak lainnya, turunnya kepercayaan para pemegang kepentingan, termasuk calon mahasiswa.